Kamis, 22 Juni 2017

Mengenal Lebih Dekat Jesral Tambun, Profesi Langka Seniman Gorga Batak

Sulit untuk tidak menebak pria Batak ini sebagai seniman. Rambut gondrong yang dikuncir sekenanya dan tubuh liat memegang pahat adalah bagian dari penampilan Jesral Tambun sehari-hari.
Di usianya yang baru 29 tahun, nama Jesral sudah banyak diakui sebagai salah satu seniman gorga Batak terbaik di Bona Pasogit. Bahkan, dia sudah sering dipanggil ke luar kota untuk pekerjaan menggorga yang sudah menjadi jalan hidupnya.
Uniknya lagi, di tengah langkanya seniman gorga, Jesral mempelajari seni lukis dan ukir khas Batak ini secara otodidak sejak 2008 atau saat usia 20 tahun.
Jesral Tambun

“Keluarga saya tidak ada yang dapat menggorga. Saya hanya mendapatkan ini secara otodidak,” ujar Jesral saat ditemui batakgaul.com di rumahnya di Hutajulu, Desa Pardolok, Kecamatan Bonatua Lunasi, Kabupaten Toba Samosir, belum lama ini.
Jesral menjelaskan, gorga terbagi dalam dua jenis, yakni gorga dais (seni lukis) dan gorga lontik (seni ukir). Gorga lontik dapat dilihat di beberapa bagian rumah batak. Sementara gorga dais sering terlihat di tugu orang-orang batak.
Namun bagi Jesral, gorga bukan sekadar seni lukis atau ukir biasa, melainkan lukisan jiwa. Oleh karenanya, setiap lekukan motif gorga memiliki makna tersendiri. 
“Jadi gorga yang ada di rumah Batak itu tidak ada yang sama. Semua berbeda, tapi karena memiliki motif dasar dan warna yang sama (merah-hitam-putih), makanya terlihat sama,” kata Jesral yang baru ‘mangalap‘ Boru Marpaung tahun lalu ini.
“Jika dilihat dengan teliti, motif tersebut pasti berbeda yang juga memiliki makna yang berbeda,” lanjutnya.
Soal warna merah, hitam dan putih yang selalu mengisi lekukan gorga, kata Jesral, kombinasi itu adalah mutlak. Tidak boleh ada warna lain selain tiga warna itu.
Kenapa?
Sebab, ketiga warna itu juga memiliki makna tersendiri. Merah melambangkan keberanian, hitam berarti kalem sedangkan putih berarti teladan.
“Sebenarnya gorga ini memiliki banyak makna, jadi tergantung pada diri kita sendiri menafsirkannya. Tetapi pada dasarnya, seorang pandai gorga pasti mengerti makna dari setiap motif gorga yang ia buat,” tutur Jesral.
Meski begitu, menurutnya gorga selalu memiliki motif dasar ‘Silindung Nipahu’yakni motif seperti tumbuhan pakis yang berputar. Motif ini bermakna kehidupan, yakni mulai dari dalam kandungan, hingga kemudian lahir, menjadi anak-anak, beranjak dewasa hingga kemudian menjadi orang tua.
Sama halnya dengan tumbuhan pakis yang dimulai dengan bentuk yang berputar membulat, lalu kian mekar dan terus tumbuh menjadi daun.
“Intinya, selama tubuh masih bernafas, kita tidak dapat menjengkali manusia,” lanjut Jesral.
Jesral juga menyebutkan kehidupan manusia juga dilambangkan dengan tiga warna gorga. Dimulai dari anak-anak yang harus berani (warna merah).
Lalu dilanjutkan dalam kehidupan orang dewasa yang kalem (warna hitam), seperti ilmu padi, kian berisi kian menunduk. Lalu kemudian menjadi orang tua yang diharapkan dapat menjadi teladan (warna putih).
Selain motif dasar, gorga juga memiliki motif lain yang dapat disebut motif secara umum yakni motif Dalihan Natolu yang bermotif segitiga (Somba Marhulahhula-Manat Mardongan Tubu-Elek Marboru).
Kemudian Suhi ni Ampang Naopat yang bermotif segi empat berwarna hitam dan bulat berwarna merah di tengah, serta bermotif warna putih di sekekeling ukiran yang bulat.
Lalu motif ihan-ihan (berbentuk ikan), motif sirih (berbentuk sirih), dan yang terakhir adalah motif Boras Pati. 
Namun Jesral tidak sependapat dengan banyak orang yang menganggap Boras Pati sebagai cicak.
“Kalau menurut saya itu bukan cicak. Melainkan binatang reptil mirip cicak. Jadi ini adalah hewan keberuntungan yang mendatangkan rezeki,” ujar Jesral.
Sebelum mengerjakan gorga di rumah-rumah atau gedung pertamuan Batak, Jesral selalu lebih dulu memakan naniarsik, dan kemudian berbincang-bincang dengan pemilik rumah atau gesung.
Apakah Jesral melakukannya sebagai ritual?
“Itu bukan ritual, kebetulan saja istri masak naniarsik sebelum berangkat kerja,” ujarnya merendah.
Dari perbicangan dengan pemilik rumah/gedung, Jesral juga biasa mendapat ilham tentang motif gorga apa yang akan dia bentuk di properti milik mereka.
“Jadi dalam gorga itu, selalu ada motif-motif lain yang melambangkan atau mengartikan sisi kehidupan si pemilik gorga. Jadi seorang pandai gorga pasti dapat melukiskan kehidupan seseorang dalam gorganya,” lanjutnya.
Meski begitu, Jesral mengaku jika seorang pandai gorga itu tidak harus memiliki ilham tersendiri.
“Saya tidak bilang begitu (harus punya ilham). Tapi kalau ada yang mengatakan seperti itu ya silakan. Penggorga itu cukup berbakat dan belajar,” ujarnya merendah.
Terkait seniman gorga Batak yang kini kian langka, Jesral mengaku tidak terlalu mempersoalkannya.
“Saya tidak menyalahkan jika rumah batak diganti menjadi gedung. Saya juga tidak mempersoalkan jika orang batak saat ini sudah mulai meninggalkan gorga,” ujarnya.
Bagi Jesral, semua kembali pada pribadi masing-masing orang. “Jika itu yang mereka inginkan, ya silahkan. Hidup itu punya kebebasan,” ujar Jesral.
Sumber: batakgaul.com

1 komentar: