Minggu, 17 Desember 2017

Mengenal Lebih Dekat Musisi Viky Sianipar


Viky Paulus Sianipar merupakan seorang musisi muda berdarah Batak kelahiran Jakarta, 26 Juni 1976. Aliran musik yang diusungnya terbilang jarang diminati orang, terlebih generasi muda. Ia memilih untuk berkarir sebagai musisi yang menekuni aliran World Music. World Music merupakan perpaduan antara musik etnik tradisional dan musik modern.

Putra pasangan Monang Sianipar dan Elly Rosalina Kusuma ini mengaku sudah menyukai seni musik sejak usia 5 tahun. Kedua orangtuanya yang mencium bakat bermusik Viky lalu menghadiahkannya sebuah piano upright. Untuk semakin mempertajam kemampuan bermusiknya, Viky kemudian mengikuti pendidikan musik klasik di Yayasan Pendidikan Musik (YPM) tahun 1982. 

Namun ia tak pernah mendalami pelajaran yang diberikan di yayasan tersebut dan lebih tertarik untuk mempelajari lagu-lagu pop dan rock. Dari YPM, ia hijrah ke tempat kursus lainnya yakni sekolah musik Farabi. Di sana ia belajar piano
jazz selama setahun, selanjutnya Viky lebih menikmati belajar secara otodidak.

Viky Sianipar

Menginjak bangku SMP Viky mulai tertarik untuk main band. Hari-harinya disibukkan dengan manggung di berbagai sekolah sebagai pengisi acara berbagai pentas seni. Bahkan saking asyiknya, ia sampai lupa belajar sehingga nilai pelajarannya pun jeblok.

Tahun 1995 setelah ia menamatkan SMA, Viky terbang ke Amerika Serikat tepatnya San Fransisco guna mempelajari bahasa Inggris. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Viky untuk mengasah musik dengan mengikuti kursus gitar blues. Ia bahkan sempat berguru kepada seorang gitaris kenamaan bernama George Cole.

Selain itu, ketika berada di Negeri Paman Sam, ia juga membentuk sebuah band cafe bernama MSA. Tahun 1997, bersama MSA Band ia melanglang buana dari satu cafe ke cafe lainnya. Menginjak tahun ketiga, band tersebut berhasil menelurkan album ‘Melangkah di Atas Pelangi’ di bawah naungan label Universal Music. Setelah lima tahun bersama, MSA band bubar di tahun 2002.

Sejak saat itu, Viky mencoba menggeluti world music, dimana ia harus memadukan musik tradisional terutama musik dari Batak, Jawa dan Bali dengan musik modern. Semua itu berawal dari rasa keingingtahuannya tentang not-not tradisional terutama Indonesia yang sangat beragam. Mulai tahun 2000-an, Viky Sianipar mendirikan band-band yang mengusung world music.

Padahal saat masih sekolah dulu ia mengaku kurang suka mendengarkan musik berbau etnik. “Karena saat sekolah gua pikir itu musik ga gaul, norak, dan lain lain, hehehehe….”, ucap Viky. Namun lambat laun pemikirannya mulai berubah, ia malah tertarik menggabungkan musik konvensional dan etnik. Memang apa yang dilakukan Viky boleh dibilang tak biasa, tapi justru itulah tantangannya. Setiap hari ia giat menggali, mempelajari musik tradisional agar dapat memadukan antara not dan chord di keyboard dengan alat-alat musik etnik Indonesia.



Pada tahun 2002 ia mengawali debutnya di jalur musik etnik. Kebetulan ia dipercaya menjadi music director di sebuah acara bertema peduli lingkungan yaitu ‘Save Lake Toba’ yang bertempat di Danau Toba,
Sumatera Utara. 

Dari acara yang diselenggarakan MS Production itu ia mulai membuat konsep bagaimana agar lagu-lagu Batak dikemas dengan aransemen modern namun tanpa menghilangkan esensinya. Dari keterlibatannya dalam event tersebut, Viky kemudian merilis album solo perdananya yang berjudul ‘Toba Dream’.

Setelah merilis album perdananya, beragam reaksi dialamatkan pada Viky. Ada yang kagum tapi ada juga yang mencemooh bahkan memberinya julukan sebagai musisi perusak lagu Batak. Mendapat tudingan negatif seperti itu sempat membuatnya berkecil hati, namun untungnya ia selalu dikelilingi keluarga, sahabat, dan rekan-rekan sesama musisi World Music yang tak pernah putus memberinya dukungan moral.


Menanggapi kritik dan dukungan yang mengalir padanya, ia hanya menyatakan jika membuat sesuatu yang baru itu pasti ada pro dan kontra. “Apalagi saya mengaransemen lagu Batak. Pastilah ada yang nggak setuju, terutama yang sudah berumur,” kata penggemar Harry Potter itu.

Alasannya mungkin karena banyak orang Batak yang merantau merasa rindu akan kampung halamannya. Jadi inginnya dengar lagu yang sama persis waktu zaman dulu di kampung. Sejelek apapun itu, pasti terasa enak karena mengingatkan tentang kampung halamannya. “Giliran sudah mendengar yang diaransemen ulang, dia dengan cepat berpikir sudah nggak enak lagi. Maka terceploslah istilah merusak lagu Batak itu,” ungkapnya.

Hingga suatu hari seorang musisi lagu-lagu Batak yang sudah sangat berpengalaman pernah menyambangi Viky. Setelah saling tukar pikiran, sang musisi akhirnya memahami kalau Viky sebenarnya bukan merusak lagu Batak seperti yang sering diperbincangkan komunitas
penyanyi Batak.

Berawal dari alat musik Batak, kemudian ia mulai menjelajah ke Jawa, Sunda, hingga Bali. Seketika ia tersadar dan merasa sangat bersyukur karena terlahir di negara yang kaya akan kesenian tradisional. Setiap daerah yang dikunjunginya memiliki ciri khas musik masing-masing.

Dari situ Viky memetik banyak pelajaran. Ia merasa lagu daerah itu jauh lebih punya ‘soul’ ketimbang lagu-lagu industri. Sejak saat itu ia pun mulai bereksperimen dengan membuat aransemen modern agar generasi yang akan datang mengetahui apa itu etnik dan kebudayaan bangsanya sendiri.

Menurutnya, agar bisa mengkolaborasikan musik tradisional dengan musik modern Viky harus tahu dulu isi dari lirik sebuah lagu tradisional agar pesan yang hendak disampaikan mudah diserap para pendengar. Selain itu pemilihan instrumen musik juga memegang peranan yang tak kalah penting.

Di balik semangatnya untuk terus mempopulerkan musik etnik khas Indonesia, Viky masih menyimpan keprihatinan. Pasalnya budaya Indonesia dinilainya tengah di ambang krisis. Ia bahkan khawatir seni musik tradisional akan mengalami kepunahan, terlebih dengan semakin gencarnya invasi musik-musik Barat yang masuk lewat media elektronik. Secara tak langsung hal itu juga mempengaruhi tren musik domestik. Generasi muda sekarang banyak yang berpikiran kalau tidak mengikuti musik luar negeri berarti kampungan.

Pemikiran dangkal seperti itulah yang berusaha diubah Viky. Bahwa musik tradisional pun bisa berkembang selama kita punya keinginan dan kecintaan terhadap musik negeri sendiri. “Jika dilihat waktunya sekarang, musik etnik itu sangat dilupakan, perkembangannya semakin hari semakin menurun, kita punya beragam budaya dan musiknya yang bagus-bagus tapi selalu dibelakangkan,” ujar Viky mengungkapkan keprihatinannya.

Viky sebenarnya memaklumi kenapa musik etnik indonesia kurang menarik minat para generasi muda, karena umumnya musik tradisional itu bukan diciptakan untuk kepentingan hiburan melainkan untuk pelengkap ritual keagamaan dan lain sebagainya. Maka untuk menarik generasi muda, Viky pun memasang strategi mengenalkan musik etnik dipadukan dengan aransemen yang kekinian tanpa menghilangkan makna dasarnya.

Untuk memadukan musik tradisional dengan modern kemudian dikemas dalam sebuah album menurut Viky prosesnya tak semudah membuat album pop modern. Untuk menggarap sebuah karya berkualitas ada beberapa tahap yang harus dilaluinya. 
Pertama ia harus mensurvei dulu musik dan daerahnya untuk mengetahui apa saja aturan yang terkandung di dalamnya. 
Kedua, setelah menemukan musik yang dianggap cocok, ia kemudian memilih lagi mana yang bisa dipadukan dengan musik modern. Agar albumnya terkemas dengan baik, ia mengaku tidak pernah mematok target khusus, semuanya dibiarkan mengalir apa adanya.

Untuk para generasi muda, Viky pun berpesan agar jangan salah mendefinisikan musik, dan cobalah lihat musik itu dari unsur seni dan harmoninya. Kemudian jadikan harmoni itu menjadi sasaran, jangan hanya berdasarkan hanya teori atau pasar, tidak perlu menunjukkan skill berlebihan, yang terpenting adalah harmoninya dapat tetap terjaga.

Sejak awal kemunculannya sebagai musisi World Music, anak bungsu dari empat bersaudara ini telah merilis sedikitnya tujuh album rekaman. Lewat album-albumnya, ia ingin menunjukkan bahwa musik tradisional Indonesia tidak kampungan, enak didengar oleh semua kalangan dan mampu menjadi musik yang mendunia. Meski membawa misi untuk terus melestarikan musik tradisional, ia tetap memperhatikan sisi komersial album-albumnya. Itulah mengapa karya-karyanya dikemas dengan sederhana dan easy listening.

Album bertajuk Indonesian Beauty, misalnya, merupakan salah satu bentuk eksplorasi musik seorang Viky Sianipar. Album yang rilis tahun 2006 itu bukan hanya mengusung musik tradisional Batak, tapi juga musik etnik dari berbagai daerah. Dalam penggarapan album tersebut ia bahkan rela mengejar musisi-musisi serta peralatannya hingga ke daerah asalnya.

Berikut merupakan kumpulan album Viky Sianipar:


Toba Dream (2002)
Toba Dream II – Didia Ho (2003)
Datanglah KerajaanMu (2004)
Indonesian Beauty (2006)
Viky Sianipar Featuring Dipo Pardede (2007)
Toba Dream III (2008)
Satu
Tobatak
Toba Dream 4
Toba Dream 5 (2015)

Selain itu Viky juga memiliki single album yaitu, Bengawan Solo, Parompompom, Alusi Ahu, dan Nunga Lao.


Viky Sianipar Collection Gear:

Roland Fantom Series

Roland Fantom X 8

Roland RD 700 sx

Roland Modul 5050

Fender Strat Eric Clapton

Batak Instrument

Taganing (perkusi),

hasapi (petik),

ogung (gong),

Sulim (suling bamboo).

Studio Work:


Viky Sianipar Music Centre

(AF, AnggaFoster)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar